One Snapshot "Part 2"
*Adanya pertemuan bukanlah tanpa sebab, semua atas kehendak-Nya.
Terkadang hal itu membuat kita kecawa, terkadang membuat bahagia, tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Dibalik itu semua pasti ada hikmahnya, mungkin bisa jadi hidupmu berubah karenanya / justru dirimu yang mampu mengubah hidupnya.
Terimakasih atas perjalanan, pelajaran, serta pengalaman ini*
__________________________________________
Suara adzan subuh mulai terdengar dari berbagai sudut. Pagi masih gelap disertai embun-embun yang menyapa, dingin menyelimuti tubuh. Rasanya enggan bangun dari tempat tidurku, badanku masih terasa pegal-pegal dan mata sulit terbuka. Aku duduk sejenak di pinggir ranjang sambil mengumpulkan nyawa dengan mengucek-ngucek mata.
Aku berdiri menuju kamar mandi mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh. Ketika aku sedang pakai mukena terdengarlah suara komat dari masjid terdekat, aku langsung bergegas menuju kesana walau terasa berat. Usai sholat ku sempatkan sebentar untuk membaca Al-Qur'an dan bermunajat kepada Tuhan agar diberikan jalan terbaik menurut-Nya.
Jam hampir menunjukkan setengah enam, tapi matahari belum juga menampakan senyumnya. Aku memutuskan untuk pulang dari masjid karena banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Hari ini masih tanggal merah, jadi aku bisa dengan santai dalam beberes rumah.
Hari-hari seperti biasa ku lewati, tidak ada kesan apapun dalam hidup ini, senang tidak, sedih juga tidak karena semua sudah terasa biasa. Sore ini aku berniat untuk jalan-jalan sekedar mencari udara segar, karena rasanya sumpek jika harus diam terus di rumah. Ku putuskan mengelilingi desa ku, melihat sawah-sawah juga perbukitan untuk memanjakan mata. Aku berhenti di pinggir jalan, mataku tertuju pada semburat jingga yang mempesona. Sayup-sayup suara adzan maghrib berkumandang. Aku belum berniat untuk pulang, segera ku cari masjid terdekat. Usai itu aku pergi menuju terminal untuk membeli laukan dan gorengan di warung kopinya bu Rini. Bu Rini adalah teman guru yang dekat dengan ku di sekolahan, walaupun umur kita jauh berbeda, aku merasa tetap nyambung dalam obrolan, tak jarang aku curhat dengannya, ia bisa menjadi ibuku saat di sekolahan.
Aku parkir tepat di depan kedainya, ku lihat deretan motor yang terparkir, sejenak pandangan ku berhenti tertuju pada motor RX king berwarna ungu tua, tidak asing lagi sepertinya aku mengenalnya.
Aku hendak masuk ke dalam kedai itu, samar-samar ku dengar suara cempreng khasnya Dion. Yaps betul sekali dia ada di dalam. Aku urungkan langkahku karena tak ingin mengganggu percakapan ia dengan bu Rini. Aku berdiri di dekat pintu masuk. Sekilas yang ku dengar "Dion dengar-dengar kamu dekat sama mba Aya ya?" Tanyanya dengan nada halus.
"Iya bu, ya baru kenal aja sih"
"Pesanku hati-hati aja, dia udah punya calon"
"Oh masa iya bu" Jawabannya dengan nada kecewa.
"Iya, tiga bulan lagi dia akan menikah"
Ku perhatikan dari jendela, raut mukanya langsung berubah menyiratkan penyesalan. Aku melihatnya tak sampai hati. Aku pun diam sejenak, antara lanjut masuk ke dalam atau berputar arah pulang, tapi aku sudah terlanjur sampai sini, aku butuh beli laukan dan gorengan untuk makan malam karena ibuku tidak masak.
Aku melangkah dengan girang sambil memanggil bu Rini dengan lantang, seolah-olah aku tidak tahu ada kejadian apa barusan di dalam.
"Bu aku mau beli laukan dan gorengannya dong"
"Iya ambil aja" Jawabannya sambil mengaduk kopi yang baru saja dituangkan.
Aku mengambil capitan gorengan lalu menuju ke meja tempat lauk-pauk dan gorengan disediakan. Dion duduk dekat tiang menghadap ke pintu. Ku tatap dia sedang menghisap rokoknya dengan malas sambil menyenderkan tubuhnya ke kursi, seolah-olah ia sedang menanggung beban berat.
"Loh bund, beli apa?" Tanyanya
Ia masih memanggilku bunda, seperti yang ia katakan saat tour.
"Beli laukan buat makan" Jawabku sambil mengambil gorengan.
"Makan sini aja lah bund bareng aku, nanti kamu tinggal belikan buat ibumu" Pintanya.
"Ya udah aku temenin"
Aku pun mengambil 2 bungkus nasi kucing dan gorengan, sambil ku berkata pada bu Rini "Bu aku pesan susu jahe ya"
"Oke siap"
Aku melangkah menuju meja dimana Dion duduk. Aku duduk dihadapannya sambil menyodorkan nasi yang ku bawa.
"Ayo mas kita makan dulu"
Tak lama kemudian bu Rini datang membawa pesananku.
Kami pun saling diam entah apa yang sedang dipikirkan.
Uhuuk.... uhuuuk....
"Makanya makan jangan sambil bengong, nih minum dulu" Ucapku sambil menyodorkan aqua gelas yang tersedia di meja.
"Tadi ngajak makan bareng, malah aku dicuekin, lagi mikir apa sih?" Tanyaku.
"Nggak, gak mikir apa-apa kok. Eh kita ini baru kenal tapi kok bisa langsung ngobrol nyambung ya"
"Iya ya, kayak udah lama kenal"
"Kenapa sih kita baru kenal sekarang, nyesel aku, coba dari kemarin-kemarin, pasti gak terlambat kayak gini"
"Maksudnya?" Tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Aku boleh tanya sesuatu, tapi jawab jujur ya"
"Iya apaan?"
"Bener kamu udah punya calon?"
Deg jantung ku langsung berhenti berdetak
"Hmmm, tau dari siapa?"
"Dari bu Rini"
"Owh" Jawabku singkat
"Owh gimana? Bener kan?" Tanyanya menginterogasi
"Iya bener, tapi saat ini hubungan ku sedang tidak baik-baik saja sama dia"
"Hmm jangan bilang kamu mau lari ke aku, makanya kamu gampang akrab sama aku"
"Nggak, gak gitu maksudnya, yaa aku anggap kamu itu teman, bukan pelarian"
"Gak apa-apa kok aku jadi pelarian mu, aku siap menjadi obat dari segala luka mu"
Ku tatap matanya, terlihat begitu sayu seolah-olah mengatakan aku sedang tidak baik-baik saja.
"Maafkan aku" Ucapku lirih sambil menahan air mata. "Tapi kita tetap temanan kan?"
"Iya tenang aja"
"Kita tetap agendakan ngopi juga kan?"
"Iya, besok gimana? Kita ke telaga biru"
"Boleh, kalau kamu gak sibuk. Ya udah yuk pulang, nanti takut dicariin ibuku"
"Kamu duluan aja"
Aku bergegas pulang karena waktu isya segera tiba, ku pacu motor ku dengan lambat. Pikiran ku terasa berat mengingat kejadian tadi. Ada perasaan bersalah, jujur aku tidak ingin melukainya, tapi apalah daya jalan takdir sudah diatur oleh-Nya.
Sesampainya di rumah aku langsung mengambil air wudhu untuk sholat isya, usai itu aku lanjut dengan sholat istikharah dan berdoa sampai menitipkan air mata meminta agar diberikan yang terbaik sesuai kehendak-Nya, aku hanya bisa pasrah atas apa yang akan terjadi ke depannya.
Hujan terus mengguyur dengan derasnya, namun tak kalah derasnya dengan hujan yang membasahi pipiku, dadaku begitu sesak. Malam semakin gelap, suara kodok saling bersahutan penuh kegirangan menyambut pesta hujan. Aliran parit gemericik sangat keras. Hujan di luar sana sudah mulai reda tapi tidak dengan tangisku. Entah apa yang aku rasakan begitu sesak, sesak sekali. Hawa kantuk mulai datang tapi pikiran ku belum juga tenang, ingin rasanya segera tidur melepas penat. Aku coba mendengarkan lantunan sholawat dari HP berharap aku bisa tertidur lelap.
Bangunku agak kesiangan, aku tak mendengar alarm berbunyi, rupanya HP ku mati karena semalam digunakan untuk mendengar sholawatan.
Hari ini hari senin aku harus berangkat lebih awal ke sekolah. Bayang-bayang ku teringat kejadian kemarin. Aku segera berangkat agar aku bisa bertemu dengan bu Rini di sekolahan dan menanyakan apa yang terjadi dengan Dion kemarin.
Di sekolah
"Bu Rini" Sapaku dengan senyuman "Bu, Dion kemarin kok ada di kedai mu?" Tanyaku penasaran.
"Iya, Dion itu masih saudara denganku, tapi ya kita jarang ngobrol apalagi ketemu, Baru-baru ini aja dia kemari"
"Terus kemarin Dion cerita apa aja bu?"
"Inti ceritanya berat"
"Barat gimana bu maksudnya?"
"Ya intinya berat, pengen deketin kamu, tapi kamunya udah ada yang punya, katanya nyesel gak kenal dari dulu"
"Seberat itukah bu? Kalau dipikir-pikir dia gak deket sama bu Rini. Tiba-tiba dia minta pendapat kayak gitu, kayaknya berat banget deh"
"Entah dia cuma bilang kayak gitu"
"Kok aku jadi sedih ya bu dengernya"
"Kamu kemarin ngobrol apa aja sama Dion?"
"Ya cuma cerita lah biasa"
"Kalau masalah mu sama calon mu ga perlu kamu cerita atau curhat ke dia. Kamu belum tau siapa Dion, kenal juga belum lama, takutnya nanti Dion menggunakan kesempatan itu"
"Iya bu, aku cuma cerita sekilas aja sih"
"Ya udah ayo masuk kelas dulu"
Waktu menjukan pukul 11:50, anak-anak ramai melantunkan do'a pulang. Aku mengecek HP barangkali ada WA dari Dion, ternyata nihil. Dia belum juga mengabariku. Aku coba WA dia terlebih dahulu. "Mas kita jadi ngopi nggak?"
Lama tak ada balasan. Ketika aku hendak pulang, dia membalas "Maaf ya hari ini nggak bisa, repot banget soalnya, ini aja baru bisa pegang HP, besok-besok aja ya nanti aku kabarin kalau aku longgar"
"Iya lah terserah kamu aja, kan kamu yang mau ngajak" Jawabku pasrah.
Hari demi hari berganti, janji hanyalah janji, malamnya kita sepakat mau ngopi, giliran tiba waktunya tidak jadi lagi. Hingga pada suatu malam yang terang, saat aku menata tempat tidur ku. Tiba-tiba ada notif WA dari Dion. "Maaf jika membuatmu marah, tapi aku harus jujur, kamu itu sudah punya tunangan dan kamu harus punya batasan. Walaupun kita ketemu los,, cowok mu nggak tahu, tapi kalau tetangga mu tau gimana? Bukan hanya namamu yang jelek, tapi namaku juga, dan aku yang bakal dicap lelaki yang tidak baik, maaf bukannya gimana-gimana kita udah dewasa, taulah apa sebabnya. Aku ingat sebuah pepatah jangan bermain api" Pesannya yang begitu panjang "Maaf udah buat kamu kecewa. Terimakasih atas semuanya dan kamu jangan pernah ada perasaan marah ke aku"
Seketika pipiku terasa memerah dan panas, air mata jatuh tanpa ku pinta. Ku usap pipiku dengan selimut. Sejenak menahan nafas lalu dikeluarkan lagi. Aku coba membalasnya, tulisan yang aku ketik terlihat kabur.
"Aku tau kamu bakalan ngomong seperti ini, tapi aku mohon, aku nggak mau membahasnya disini, pliisss ga usah diterusin lagi, aku malah gak bisa tidur"
"Ya udah iya besok ketemu jam 9 ya"
"Aku mau nanya sama kamu, sebelum kenal sama aku, apa ada cewek lain yang kayak aku?"
"Nggak ada, aku kenal cewek kayak kamu baru kamu itu"
"Masa iya?" Tanyaku meyakinkan
"Iya, ya udah ayo tidur, udah malam"
Kebetulan hari ini hari libur, aku langsung bergegas menuju tempat yang dia tentukan. Aku kabari dia kalau aku sudah menunggu, tapi ternyata WA dia tidak aktif sama sekali, biasanya dia selalu beri kabar jika ada sesuatu. "Apakah dia menghindari aku?" Pikirku. Sudah satu jam aku menunggu, tetap tidak ada kabar dari dia. Ku putuskan untuk menunggu di rumah Nadia.
Matahari mulai tinggi tepat berada diatas kepala, karena jenuh menunggu akhirnya aku mengajak Nadia untuk keluar rumah sekedar menghibur diri sambil beli jajan. Saat di perjalanan HP ku bergetar ada pesan dari Dion. "Maaf ya aku repot banget, HP ku juga mati tadi jadi gak bisa ngabarin"
"Iya gak apa-apa, terus ini jadi nggak?"
"Nggak lah udah siang"
"Ya udah kalau gitu aku pulang"
Aku minta Nadia untuk pulang saja, perasaan ku tidak tenang. Aku dibonceng Nadia dan aku hanya diam saja saat perjalanan. Nadia bertanya padaku, aku menceritakan semuanya apa yang telah terjadi.
Nadia meminta nomornya Dion kepada ku, karena memang sejak dia tau aku sudah tunangan, aku berniatan mengenalkan dia dengan Nadia, tetapi belum ada aksi dari Dion. Ya sudahlah biar Nadia duluan yang ngechat.
Siang semakin memanas, aku segera pulang karena ada jadwal les anak-anak di rumah. Aku fokus mengajari anak-anak, tiba-tiba HP ku berdering kencang ada panggilan dari Nadia.
"Hallo ya, ayo kita ketemu. Dion ngajak ketemuan, aku gak mau kalau berduaan"
"Ya kan itu urusannya sama kamu, aku gak ikutan"
"Lah ini barangmu gimana yang ada di rumah ku? Jadi dikasihkan ke dia gak?"
"Tadi dia bilang suruh titipin ke bu Rini aja"
"Ya kan enak dikasihkan langsung, sekalian selesaikan masalah mu"
"Iya udah hayuk, dimana?"
"Di kedai kopi, di terminal, kita ketemu disana"
"Oke, siap"
Aku datang lebih dulu karena rumah ku tidak terlalu jauh dari kedainya. Tak lama kemudian Dion datang dan di susul oleh Nadia. Kita bertemu saling membisu, bahkan menatap pun aku tak mampu.
"Kenapa kok pada diem, silahkan kalian berdua ngobrol, katanya mau kenalan lebih dekat"
"Kamu ini gimana sih, ayo lah kita selesaikan baik-baik"
"Emang kita gak baik-baik saja? Perasaan baik-baik aja deh, aku gak marah dan aku masih anggap kamu sebagai teman sekalipun aku nanti udah nikah, tapi terserah kamu, kamu mau nganggep aku apa" Ucapku sambil mengaduk minuman yang ku pesan.
"Ya kita tetap temanan lah"
"Kalau kamu udah nikah gimana? Nanti kalau istrimu ngelarang kita temenan gimana? Kalau aku sih, calon ku udah tau kalau aku temenan sama kamu"
"Ya pastilah aku cerita, kalau dia istri yang baik pasti bolehlah"
"Tapi bisa gak sih, kita temenan seperti awal kenal"
"Maaf, aku sudah bilang ke kamu supaya tidak bermain api"
"Iya aku paham sih"
"Tolonglah kamu ngertiin"
"Seberat dan sesakit itu kah? Tidak biasanya loh kami curhat ke bu Rini, kamu loh gak dekat, kok tiba-tiba curhat"
"Nggak kok, aku ini biasa aja, gak ada perasaan apapun, kamu tenang aja aku gak apa-apa, kita tetap temanan tapi ya tetap harus ada batasan. Pesan ku yaitu jangan bermain api"
"Aku gak main api, mana loh apinya?"
"Duhh plis lah pahami kata-kataku, emang kita ga sedang main api, maksud aku begini, kamu udah punya calon, kalau kamu terus-terusan ke aku, apa-apa aku, takutnya kita saling nyaman gitu"
"Iya lah terserah kamu"
"Ya kamu jangan marah lah"
"Nggak, marah kenapa emang?"
"Ya udah semoga kamu bahagia, ikhlaskan aku, semoga kamu samawa ya"
Dia begitu tulus mendoakan ku, tapi aku benci sekali mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya.
"Stop, ga usah bilang kayak gitu napa" Ucapku kesal. "Aku disini akan tetap memastikan mu baik-baik saja sampai kamu punya cewek"
"Lah ini cewekku sekarang" sambil menggandeng tangan Nadia
"Eh apaan sih" Sambil menepis tangan Dion "kamu gak cemburu" Tanya Nadia sambil menatapku
"Buat apa? Asal kalian bahagia, kalau kalian jadi kan aku bisa pinjem Dion buat diajak ngopi atau kita bisa ngopi-ngopi bareng"
"Iya gampang kalau beneran jadi, aku gak bakal melupakan mu begitu saja, kan kamu yang udah berjasa sebagai biro jodoh" Sahut Dion.
"Pesanku ya Nad, jangan sampai sakiti dia, jika dia tersakiti, aku orang yang paling tidak rela, dan kamu akan berhadapan sama aku" Pesanku dengan tegas.
"Ya udah ini barang buat kamu, siapa tahu bisa menemani perjalanan mu, aku memberi ini bukan ada maksud apa-apa, sama sekali tidak, aku memang orang nya suka memberi, bukan maksud aku sombong, cuma aku ga pengen aja kamu nganggep yang nggak-nggak. Aku tak pernah menyesali apa yang sudah aku beri"
"Ya udah terimakasih banyak ya"
"Aku ga butuh terimakasih mu, cukup kamu hargai aku sudah seneng"
"Iya tapi terimakasih atas semuanya"
"Aku yang berterimakasih sama kamu, terimakasih sudah memberikan pelajaran berharga buat aku, aku pamit"
"Nad aku titip dia, jaga dia baik-baik"
"Tenang, bakal aman sama aku"
Aku langsung keluar dan ku pacu motor ku sangat kencang tak peduli dengan lalu lalang sekitar. Mataku mulai berkaca-kaca tak tahan dengan semua kejadian barusan.
Sebelum aku tidur aku mengecek HP, ku lihat ternyata ada pesan dari Dion.
"Terimakasih ya, tapi ini kok banyak sekali"
"Iya gak apa-apa, emang udah niat ngasih itu"
"Maaf ya atas semua kesalahan ku, maaf kalau aku udah buat kamu kecewa"
"Siapa yang kecewa? Aku gak pernah menyatakannya, aku justru beruntung banget bisa kenal kamu, mungkin ada sedikit penyesalan, tak perlu ku jelaskan, penyesalan kita sama"
"Terimakasih ya"
"Keyboard mu eror apa kenapa sih? Nggak ada kata lain apa, bosen aku bacanya" Ku chat lagi "Katanya kamu mau ke rumah ku, kamu ga mau coba kesini, siapa tau takdir berkata lain" Godaku.
"Udahlah jangan dibahas lagi, itu kan sebelum aku tau, intinya pesanku jangan bermain api. Maaf"
"Iya, udahlah aku mau tidur"
"Good night"
"Night too"
Malam semakin mengigil, aku terbangun di tengah malam, mataku terasa berat dan tak terasa air mata menggenang di pipiku, sesak benar-benar sesak, baru kali ini aku merasakan sesesak ini. Aku langsung teringat kejadian tadi sore, pikiran ku melayang kesana, aku bertanya-tanya ada apa di balik semua kejadian ini. Mungkin Tuhan sengaja menghadirkan Dion dalam hidupku sebagai pengingat agar aku tetap berjalan sesuai dengan takdir yang digariskan oleh-Nya. Dion benar-benar menjaga aku, dia tak ingin merusak hubunganku. Dia orang baik, dan aku tak ingin melihatnya tersakiti oleh siapapun. Aku akan tetap memastikan dia baik-baik saja.
Aku bangkit dari tempat tidurku menuju kamar mandi mengambil air wudhu, lalu aku bermunajat kepada Allah meminta yang terbaik kepada-Nya agar aku tidak salah pilih jalan. Tidak ada kata lain selain pasrah kepada-Nya, karena Tuhan lah yang tau yang terbaik untukku.
____________Bersambung___________
Komentar
Posting Komentar